Sumber-Sumber Hukum
1. Sumber-sumber hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut, yaitu:
· Sudut Ekonomi, sejarah, sosiologi, dll
yang menjadi sumber hukum adalah : kejadian / peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
2. Sumber-sumber hukum formal, yaitu:
a· Undang-undang (Statute)
" suatu kekuasaan hukum yang mengikat dan diadakan serta dipertahankan oleh penguasa negara "
- pengertian undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) :
yaitu: setiap peraturan negara yang karena bentuknya disebut Undang-undang atau dengan kata lain setiap keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di Indonesia, Undang-undang dalam arti formal dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR(lihat pasal 5 ayat 1 UUD 45).
- pengertian undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) :
yaitu: setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum. Misalnya:
Ketetapan MPR, Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Keputusan Presiden (KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), dll
Perbedaan dari kedua macam Undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau segi pembuatan dan bentuknya. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam membedakan kedua macam pengertian undang-undang tersebut, maka undang-undang dalam arti materiil biasanya digunakan istilah peraturan, sedangkan undang-undang dalam arti formal disebut dengan undangundang.
b· Kebiasaan (Custom)
" perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama yang diterima oleh masyarakat sebagai suatu kebiasaan "
menurut pasal 15 AB (ALGMENE BERPALINGEN VAN WET GEVING VOOR INDONESIA) : kebiasaan tidak menimbulkan hukum, kecuali kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan
menurut APELDORON untuk terbentuknya suatu hukum kebiasaan diperlukan 2 syarat yaitu :
1. syarat bersifat material
adanya tindakan yang dipergunakan secara tetap
2. syarat psikologis
adanya keyakinan akan kewajiban hukum
perbedaan undang-undang dengan kebiasaan :
- dalam undang-undang peraturan timbul dari atas, keputusan dipikul pemerintah/ sedangkan dalam kebiasaan peraturan timbul dari bawah, dari pergaulan hidup masyarakat
- undang-undang bersifat heteronom, sedangkan kebiasaan bersifat otonom
- undang-undang suatu saat dapat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, sedangkan dalam kebiasaan selalu merupakan bagiannya yang tepat dari apa yang hidup dalam masyarakat
- dasar hukum undang-undang : kebiasaan yang ditulis
dasar hukum kebiasaan : kesadaran untuk bersama masyarakat
- undang-undang memberi kepasatian hukum yang lebih besar, sedangkan kebiasaan memberi ketidak pastian yang lebih besar
- dalam undang-undang penegasan pandangan hukum yang hidup dalam masyarakat dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan dalam kebiasaan dilakuakan oleh kekuasaan kehakiman. Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
c· Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
berasal dari “iuris prudential” (Latin), “Jurisprudentie” (Belanda), “jurisprudence” (Perancis) yang berari “ Ilmu Hukum” (Black’s law dictionary, edisi II, 1979).
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
1. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) : rangkaian keputusan serupa yang menjadi dasar dari pengadilan untuk mengambil keputusan
2. Yurisprudensi tidak tetap : keputusan hakim karena sependapat dengan isi keputusan tersebut
pentingnya yurisprudensi :
- menurut aliran legisme peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undang-undang, sehingga merupakan pelaksana undang-undang. Konsekuensi logisnya, maka memahami undang-undang merupakan hal yang bersifat substansial/primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari yurisprudensi merupakan hal yang bersifat sekunder.
- menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan “Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang-undang merupakan hal yang bersifat sekunder,
- menurut aliran rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonden Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang sesuai dengan tuntutan jaman
Dasar Hukum Yurisprudensi di Indonesia :
- pada tanggal 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat A.B. yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
- Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
- Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
- Pada peraturan peralihan UUD 1945 ayat 2 : "segala badan negara dan peraturan negara yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru.
alasan hakim menggunakan yurisprudensi :
- pengaruh psikologis : hakim mengikuti keputusan hakim lain yang lebih tinggi
- sebab praktis : mengikuti keputusan hakim lain yang lebih tinggi
- adanya persesuaian dan persamaan pendapat
d· Traktat (Treaty)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang dituangkan dalam bentuk tertentu.
jenis-jenis traktat
- bilateral : perjanjian antara 2 negara
- multilateral : perjanjian lebih dari 2 negara
- kolektif : perjanjian internasional banyak negara
fase Pembuatan traktat:
1. Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat (sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi, kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.
2. Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang memerlukan persetujuan dari parlemen.
3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja, Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.
4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.
*
e· Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statue of The International Court of Justice), mengakui dan menetapkan bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman, antara lain :
a. Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions)
b. Kebiasaan-Kebiasaan International (International customs)
c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilsed nations)
d. Keputusan Hakim (Judicial decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum
1. Sumber-sumber hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut, yaitu:
· Sudut Ekonomi, sejarah, sosiologi, dll
yang menjadi sumber hukum adalah : kejadian / peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
2. Sumber-sumber hukum formal, yaitu:
a· Undang-undang (Statute)
" suatu kekuasaan hukum yang mengikat dan diadakan serta dipertahankan oleh penguasa negara "
- pengertian undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) :
yaitu: setiap peraturan negara yang karena bentuknya disebut Undang-undang atau dengan kata lain setiap keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di Indonesia, Undang-undang dalam arti formal dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR(lihat pasal 5 ayat 1 UUD 45).
- pengertian undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) :
yaitu: setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum. Misalnya:
Ketetapan MPR, Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Keputusan Presiden (KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), dll
Perbedaan dari kedua macam Undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau segi pembuatan dan bentuknya. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam membedakan kedua macam pengertian undang-undang tersebut, maka undang-undang dalam arti materiil biasanya digunakan istilah peraturan, sedangkan undang-undang dalam arti formal disebut dengan undangundang.
b· Kebiasaan (Custom)
" perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama yang diterima oleh masyarakat sebagai suatu kebiasaan "
menurut pasal 15 AB (ALGMENE BERPALINGEN VAN WET GEVING VOOR INDONESIA) : kebiasaan tidak menimbulkan hukum, kecuali kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan
menurut APELDORON untuk terbentuknya suatu hukum kebiasaan diperlukan 2 syarat yaitu :
1. syarat bersifat material
adanya tindakan yang dipergunakan secara tetap
2. syarat psikologis
adanya keyakinan akan kewajiban hukum
perbedaan undang-undang dengan kebiasaan :
- dalam undang-undang peraturan timbul dari atas, keputusan dipikul pemerintah/ sedangkan dalam kebiasaan peraturan timbul dari bawah, dari pergaulan hidup masyarakat
- undang-undang bersifat heteronom, sedangkan kebiasaan bersifat otonom
- undang-undang suatu saat dapat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, sedangkan dalam kebiasaan selalu merupakan bagiannya yang tepat dari apa yang hidup dalam masyarakat
- dasar hukum undang-undang : kebiasaan yang ditulis
dasar hukum kebiasaan : kesadaran untuk bersama masyarakat
- undang-undang memberi kepasatian hukum yang lebih besar, sedangkan kebiasaan memberi ketidak pastian yang lebih besar
- dalam undang-undang penegasan pandangan hukum yang hidup dalam masyarakat dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan dalam kebiasaan dilakuakan oleh kekuasaan kehakiman. Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
c· Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
berasal dari “iuris prudential” (Latin), “Jurisprudentie” (Belanda), “jurisprudence” (Perancis) yang berari “ Ilmu Hukum” (Black’s law dictionary, edisi II, 1979).
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
1. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) : rangkaian keputusan serupa yang menjadi dasar dari pengadilan untuk mengambil keputusan
2. Yurisprudensi tidak tetap : keputusan hakim karena sependapat dengan isi keputusan tersebut
pentingnya yurisprudensi :
- menurut aliran legisme peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undang-undang, sehingga merupakan pelaksana undang-undang. Konsekuensi logisnya, maka memahami undang-undang merupakan hal yang bersifat substansial/primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari yurisprudensi merupakan hal yang bersifat sekunder.
- menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan “Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang-undang merupakan hal yang bersifat sekunder,
- menurut aliran rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonden Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang sesuai dengan tuntutan jaman
Dasar Hukum Yurisprudensi di Indonesia :
- pada tanggal 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat A.B. yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
- Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
- Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
- Pada peraturan peralihan UUD 1945 ayat 2 : "segala badan negara dan peraturan negara yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru.
alasan hakim menggunakan yurisprudensi :
- pengaruh psikologis : hakim mengikuti keputusan hakim lain yang lebih tinggi
- sebab praktis : mengikuti keputusan hakim lain yang lebih tinggi
- adanya persesuaian dan persamaan pendapat
d· Traktat (Treaty)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang dituangkan dalam bentuk tertentu.
jenis-jenis traktat
- bilateral : perjanjian antara 2 negara
- multilateral : perjanjian lebih dari 2 negara
- kolektif : perjanjian internasional banyak negara
fase Pembuatan traktat:
1. Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat (sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi, kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.
2. Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang memerlukan persetujuan dari parlemen.
3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja, Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.
4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.
*
e· Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statue of The International Court of Justice), mengakui dan menetapkan bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman, antara lain :
a. Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions)
b. Kebiasaan-Kebiasaan International (International customs)
c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilsed nations)
d. Keputusan Hakim (Judicial decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum