A.
Pembuktian
Transaki Transfer Dana
Dari segi hukum pembuktian, jasa bank yang mulanya merupakan 'paper
basedtransaction’l dibuktikan dengan aplikasi transfer ataupun surat penegasan.
Dalam perkembangannya telah bergeser menjad "paperless" atau secara elektronis, yang dalam pengiriman dan
pemrosesannya tidak lagi dilakukan secara konvensional, melainkan melalui
komputer. Pada pengiriman secara konvensional jelas adanya aplikasi transfer
yang dijadikan alat bukti, akan tetapi pada pengiriman uang secara elektronis
perlu penegasan dan pengakuan secara hukum pembuktian dan alat bukti yang dapat
digunakan. Dalam hal terjadi perkara di
pengadilan.
Undang-Undang Tranfer Dana mengakui secara
tegas pembuktian melalui elektronik. Di pasal 77 UU ini secara tegas
mengungkapkan tanda tangan elektronik dalam kegiatan transfer dana memiliki
kekuatan hukum yang sah. Lebih lanjut dirumuskan, informasi elektronik, dokumen
elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana merupakan alat
bukti yang sah.
Rumusan tersebut merupakan pengakuan
terbaru UU terhadap alat bukti elektronik setelah sebelumnya mendapat pengakuan
antara lain dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Tindak Pidana
Pencucian Uang, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, dalam UU
tentang Transfer Dana, tak disebutkan lagi persyaratan keabsahan tanda tangan
elektronik (digital signature).
Persis seperti dijelaskan pasal 76 ayat (2), bahwa pengakuan terhadap informasi
elektronik, dokumen elekronik, dan hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku. Pengakuan hukum terhadap
kekuatan pembuktian tanda tangan elektronik merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindari. Perkembangan teknologi sudah sedemikian maju. Seharusnya hukum,
termasuk hukum pembuktian, harus bisa mengantisipasi perkembangan tersebut.
Berdasarkan pada Pasal 18 juncto Pasal 7 juncto Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 maka kekuatan pembuktian dokumen elektronik tersebut yang
ditandatangani dengan digital signature sama dengan kekuatan pembuktian akta
otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Aturan tersebut diatas
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 yang
dimaksud akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang - Undang ini.
Sedangkan pengertian akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata adalah
suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana
akta dibuatnya. Akibat terjadi suatu pertentangan aturan tersebut, maka apabila
salah satu pihak mengajukan gugatan dengan alat bukti dokumen elektronik yang
ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti , maka di
dalam menyelesaikan sengketa dipengadilan, hakim dituntut untuk berani
melakukan terobosan hukum, karena dia yang paling berkuasa dalam memutuskan
suatu perkara dan karena dia juga yang dapat memberi suatu vonnis van de rechter, yang tidak langsung dapat didasarkan atas
suatu peraturan hukum tertulis atau tidak tertulis. Sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 28 ayat
(1), bahwa hakim perlu menemukan teori-teori dan dasar hukum yang nantinya
dapat digunakan apabila terjadi suatu sengketa khususnya melalui media
elektronik, dan di dalam menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak
secara arif dan bijaksana.
Dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature,
dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis. Tetapi, terdapat suatu prinsip
hukum yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan dan dokumen elektronik
atau digital signature, yakni adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat
dilihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk kertas. Salah satu hal yang baru
adanya suatu bentuk alat bukti yang baru dan sah secara hukum, yaitu Informasi
Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil cetak dari Informasi Elektronik
dan Dokumen Elektronik (pasal 5 ayat (1) UU ITE). Ketiga macam alat bukti ini
benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum adanya
peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah.
Email merupakan salah satu bentuk dokumen elektronik yang berisi
informasi elektronik dari pemilik emailnya. Sebenarnya keberadaan email ini
sudah di kenal oleh masyarakat hanya saja dalam hukum pembuktian (terutama alat
bukti) belum di akui secara sah. Pengakuan secara yuridis melalui pasal 5 ayat
(1) UU ITE terhadap ketiga alat bukti yang baru ini membawa akibat yuridis di
akuinya ketiga alat bukti tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama
ini berlaku. Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju
dalam hukum pembuktian. Apabila muncul suatu perkara perdata yang mana
mempersengketakan dokumen elektronik, maka dokumen tersebut dapat di gunakan
sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang
nantinya memutus perkara.
Melihat hal ini muncullah pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat bukti
manakah alat bukti elektronik ini dalam hukum perdata? Pemahaman kedudukan alat
bukti eletronik (dokumen elektronik) ini
sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara perdata, hakim memberikan
putusannnya dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah dan di akui dalam hukum
perdata. Keabsahan dari alat-alat ini jelas sangat bergantung pada pengakuan
secara tegas dan jelas dalam salah satu ketentuan hukum undang-undang. Seperti
halnya alat-alat bukti berupa tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah
di sebut sebagai alat yang sah secara hukum karena tertulis dalam
ketentuan pasal 1866 BW sebagai alat bukti. Begitu pula dengan alat bukti elektronik
juga dapat di katakan sebagai alat bukti yang sah secara hukum menurut pasal 5
ayat (1) UU ITE.
Dari kelima macam alat bukti yang diakui dalam hukum perdata (pasal 1866
BW) termasuk dalam kelompok manakan dokumen elektronik itu. Apabila di lihat
dari kelima macam alat bukti dalam Pasal
1866 BW itu, agaknya dokumen elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori
alat bukti tertulis. Argumentasi yang dapat di kemukakan, dokumen elektronik
ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di tuangkan dalam sebuah surat
elektronik. Selanjutnya tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk
mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum
yang harus dilakukan oleh seseorang.
Pitlo, seorang Guru besar hukum Perdata menjelaskan hakekat alat bukti
tulisan itu sebagai “pembawa tanda-tanda bacaan yang berarti untuk
menterjemahkan suatu pikiran”. Senada dengan pendapat ini, Sudikno Mertokusumo
melengkapinya dengan mendefinisikan alat bukti surat ‘segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang di maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan di pergunakan sebagai pembuktian”[1].
Terkait dengan hal ini, keberadaan dokumen elektronik pun di maksudkan untuk
mengutarakan maksud seseorang atau dua belah pihak dalam bentuk surat
elektronik yang di setujui bersama. Oleh karena itu dokumen elektronik ini
jelas dapat di kategorikan sebagai alat bukti dalam bentuk tertulis sebagaimana
di atur dalam pasal 1866 BW. Mengenai
hal ini pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebut dokumen elektronik sebagai perluasan
dari alat bukti yang ada dalam hukum perdata.
Alat bukti tertulis dalam hukum perdata memang merupakan alat bukti
pertama yang di sebutkan dalam pasal 1866 BW. Ini berarti alat bukti tertulis
ini merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau
sengketa perdata. Pada prakteknya, bentuk alat bukti tertulis (surat) ini
sangat beraneka ragam, ada tulisan yang di buat secara asal-asalan (surat
biasa), tulisan yang di buat dengan akta khusus (akta). Akta pun juga dapat di
bedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik. Lalu bagaimana dengan
dokumen elektronik apakah termasuk dalam bentuk surat biasa atau akta. Jika
memang akta, termasuk dalam kategori akta di bawah tangan atau akta otentik.
Untuk menjawab pertanyaan ini seyogyanya kembali diperhatikan definisi
dokumen elektronik sebagaimana di sebutkan pada pasal 1 angka (4) UU ITE,
“setiap Informasi Elektronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, di terima
atau di simpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau
sejenisnya yang dapat dilihat, di tampilkan dan/atau didengar melalui komputer
atau sistem elektronik, tidak terbatas pada tulisan, gambar, suara, peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka ,Kode akses, simbol, atau
perforasi yang memiliki makna atau arti dapat di pahami oleh orang yang mampu
memahaminya.” Dari pengertian pasal 1
angka 4 UU ITE ini bentuk dokumen elektronik sangat beraneka ragam sangat bergantung
pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri. Apabila dokumen elektronik itu
hanya berupa informasi biasa maka dokumen itu termasuk dalam surat biasa atau
akta di bawah tangan karena memang di buat seadanya dan tidak digunakan sebagai
alat bukti nantinya. Namun jika ternyata dokumen itu dimaksudkan sebagai
dokumen yang otentik, maka dokumen tersebut harus memenuhi beberapa
persyaratan.
Persyaratan utama agar dokumen elektronik itu dapat dinyatakan sebagai
alat bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan
sertifikasi elektornik dari pemerintah (pasal 13-16 UU ITE). Persyaratan yan
lain, harus membubuhkan tanda tangan elektronik, menuangkannya dalam kontrak
elektronik yang baku, dan lainnya. Dengan demikian kedudukan dokumen elektonik
sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tertulis sebagaimana di kemukakan dalam pasal 1866 BW. Terhadap
kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perkara perdata
sangatlah bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu di buat, dokumen
elektronik dapat di sebut sebagai akta otentik apabila sudah mendapatkan
seritifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah kontrak
elektorbik yang sah. Sebaliknya apabila sistem elektronik yang dipakai belum
mendapat sertifikasi maka setiap dokumen yang telah di buat tetap dianggap
tidak sah.
Pemahaman ini begitu krusial mengingat praktek bisnis akhir-akhir ini
mulai menggunakan media internet (teknologi informasi) dalam pembuatan
dokumen-dokumen perjanjian. Salah membuat dokumen elektronik akan mengakibatkan
kesalahan fatal pada kekuatan pembuktian dokumen elektornik tersebut sebagai
alat bukti yang sah.
[1] “Alat
Bukti Dokumen Elektronik Dalam Perkara Perdata” <http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/09/22/alat-bukti-dokumen-elektronik-dalam-perkara-perdata/>
diakses 1 April 2012