Klausula
baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[1] Lazimnya klausula baku
dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur/bon, perjanjian atau
dokumen lainnya dalam transaksi jual beli. Klausula Baku tersebut wajib ditaati
oleh para pengguna jasa rekber dari cowguard.com. Memang klausula baku potensial
merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di
sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran
perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak
sehari-hari kita selalu harus mernegosiasikan syarat dan ketentuannya.
Dari berbagai keuntungan yang ada
tersebut terdapat sisi lain dari penggunaan serta perkembangan perjanjian baku
yang banyak mendapat sorotan kritis dari para ahli hukum, yaitu sisi
kelemahannya dalam mengakomidasikan posisi yang seimbang bagi para pihaknya.
Kelemahan-kelemahan perjanjian baku ini bersumber dari karakeristik perjanjian
baku
yang
dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak
dalam suatu perjanjian terstandardisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan
tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk bernegosiasikan isi perjanjian
itu.
Sorotan para ahli hukum dari berlakunya
perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul-klausul
yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak. Sehingga berdasarkan
rumusan tersebut, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran dalam
pelaksanaannya, salah satunya adalah pencantuman klausula eksenorasi dalam
kontrak atau perjanjian standar tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan
konsumen atas adanya pencantuman klausula baku yang berkemungkinan membawa
konsumen kepada hal yang akan merugikannya, maka diperlukan pengaturan mengenai
klausula baku tersebut.
Pengaturan tentang klausul baku ini dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) menentukan pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku di setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli
konsumen.
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
f. memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi yang menjadi objek jual beli jasa.
g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan teradap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Dalam ayat (2) kemudian ditentukan pula
bahwa pelaku usaha dilarang mencantum klausul baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti. Larangan tersebut di atas oleh ayat (3) pasal itu dikaitkan
dengan kausa hokum yang halal dalam kontrak. Jika kontrak memuat klausul yang
dilarang tersebut, maka konsekuensinya, kontrak yang bersangkutan batal demi
hukum. Hoge Raad telah memberikan rumus-rumus yang bagus sekali untuk pengujian
syarat-syarat iktikad baik pada kontrak. Rumus-rumus beraneka ragam dan
memperhitungkan keadaan yang ada hubungannya dengan pelaksanaan kontrak. Dengan
demikian, hakim dalam suatu sengketa konkrit antara dua pihak yang mengadakan
kontrak memiliki ukuran pengujian yang tajam, yang memenuhi hukum alam semua
keadaan dari sengketa itu.[2]
Untuk mewujudkan perlindungan konsumen
atas adanya pencantuman klausula baku yang berkemungkinan membawa konsumen
kepada hal yang akan merugikannya, maka diperlukan pengawasan yang tentunya
dilakukan oleh lembaga yang telah diberi kewenangan untuk itu. Dalam
undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 52,
lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan adalah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kemudian disingkat dengan BPSK
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen). BPSK ditugaskan untuk mengawasi pencantuman klausula
baku, selain menyelesaikan sengketa konsumen. Namun, BPSK bersifat pasif dan
hanya bertindak jika ada pengaduan atau keluhan konsumen. BPSK juga gamang,
tidak merasa berwenang menindak pencantuman klausula baku yang dilarang.
Tindakah BPSK sebatas meminta pelaku usaha untuk menghapus klausula yang
diarang itu jika timbul sengketa.